Beranda | Artikel
Walimah (Pesta Pernikahan)
Kamis, 6 Maret 2008

ADAB-ADAB PERNIKAHAN

Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

21. WALIMAH (PESTA PERKAWINAN).
a. أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَـاةٍ
“Adakanlah walimah walaupun dengan seekor kambing.” Disebutkan dalam hadits Buraidah, ia mengatakan: “Tatakala ‘Ali meminang Fathimah, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَنَّهُ لاَ بُدَّ لِلْعَرُوْسِ مِنْ وَلِيْمَةٍ.

“Pengantin pria harus menyelenggarakan walimah.”

Al-Hafizh berkata: “Sanadnya laa ba-’sa bihi (tidak mengapa).” Dalam al-Mughni karya Ibnu Qudamah, bahwasanya ini adalah Sunnah.[1]

Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas, ia menuturkan: “Ketika mereka sampai di Madinah, kaum Muhajirin singgah di rumah-rumah kaum Anshar. Saat ‘Abdurrahman bin ‘Auf singgah di rumah Sa’id bin Rabi’, maka tuan rumah mengatakan: ‘Aku akan membagi hartaku kepadamu dan aku ceraikan salah seorang isteriku untukmu.’ ‘Abdurrahman menjawab: ‘Semoga Allah memberkahimu berkenaan dengan keluarga dan hartamu.’ Lalu dia pergi ke pasar untuk jual beli, sehingga mendapatkan sedikit keju dan minyak samin, lalu ia menikah. Maka, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ.

‘Adakanlah walimah, walaupun dengan seekor kambing.’”[2]

Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas, ia mengatakan: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengadakan walimah atas seseorang dari isteri-isterinya sebagaimana mengadakan walimah atas Zainab; beliau menyeleng-garakan walimah dengan seekor kambing.”[3]

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam al-Fat-h: “(Adakanlah) walimah walaupun hanya dengan seekor kambing, yakni bagi siapa yang mendapat kemudahan.”[4]

b. Orang yang mengadakan walimah kurang dari seekor kambing?
Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerdekakan Shafiyyah dan menikahinya, belaiu menjadikan pembebasannya sebagai maharnya, dan beliau menyelenggarakan walimah atasnya dengan hais[5].”[6]

Ibnu Hajar rahimahullah menafsirkannya: “Disebutkan sebelumnya dalam bab ini dari jalur Humaid, dari Anas, bahwa beliau memerintahkan agar menggelar hamparan, lalu dihidangkan di dalamnya berupa kurma, keju dan minyak samin, dan jadilah sebuah pesta.”[7]

Al-Bukhari meriwayatkan dari Shafiyyah binti Syaibah, ia mengatakan: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelenggarakan walimah ketika beliau menikahi salah seorang isterinya dengan dua mudd gandum.”[8]

c. Dianjurkan agar walimah dilaksanakan tiga hari setelah bercampur.
Dari Anas Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi seorang wanita, lalu beliau mengutusku supaya mengundang khalayak untuk makan.”[9]

Juga dari Anas, ia menuturkan: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Shafiyyah, dan menjadikan pembebasannya (dari perbudakan) sebagai maharnya, serta mengadakan walimah setelah tiga hari.”[10]

d. Mengundang orang-orang shalih ke walimah, baik kaum fakir maupun kaya, dan tidak mengundang orang-orang kaya saja.
Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا، وَلاَ يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلاَّ تَقِيٌّ.

“Jangan bergaul kecuali dengan orang yang beriman, dan janganlah makan makananmu kecuali orang yang bertakwa.”[11]

Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa dia mengatakan:

شَرُّ الطَّعَـامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ، يُدْعَى لَهَـا اْلأَغْنِيَـاءُ وَيتْرَكُ الْفُقَرَاءُ… الحديث

“Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah, hanya orang-orang kaya yang diundang kepadanya, sedangkan kaum fakir dibiarkan (tidak diundang)… dan hadits seterusnya.”[12]

e. Wajib memenuhi walimah dan undangan.
Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيْمَةِ فَليَأْتِهَا.

“Jika salah seorang dari kalian diundang ke suatu walimah, maka datangilah.”[13]

Dalam riwayat Muslim:

إِذَا دُعِيَ إِلَى عُرْسٍ أَوْ نَحْوِهِ فَلْيُجِبْ.

“Jika seseorang diundang ke pesta perkawinan atau sejenisnya, maka penuhilah.”[14]

Al-Bukhari meriwayatkan juga dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

فَكُّوا الْعَانِيَ، وأَجِيْبُوا الدَّاعِيَ، وَعُوْدُوا الْمَرِيْضَ.

“Bebaskanlah orang yang kesulitan, penuhilah undangan, dan jenguklah orang yang sakit.”[15]

Al-Bukhari meriwayatkan dari al-Barra’ bin ‘Azib Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami tujuh perkara dan melarang kami tujuh perkara pula. Beliau memerintahkan kepada kami untuk menjenguk orang yang sakit, mengantarkan jenazah, mendo’akan orang yang bersin (dengan bacaan yarhamu-kallaah,-pent.), memenuhi sumpah (seseorang), membela orang yang dizhalimi, menyebarkan salam dan memenuhi undangan. Sementara beliau melarang kami memakai cincin emas, bejana dari perak, alas pelana yang terbuat dari sutera, pakaian yang dijahit dengan benang sutera, sutera tebal dan sutra tipis.’[16]

Al-Bukhari meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:

أَجِيْبُوا هَذِهِ الدَّعْوَةَ، إِذَا دُعِيْتُمْ لَهَا.

“Penuhilah undangan ini, jika kalian diundang kepadanya.”[17]

Al-Hafizh berkata, “Dalam riwayat Muslim dari Harun bin ‘Abdillah, dari Hajjaj bin Muhammad: “Beliau memenuhi undangan itu, sedangkan beliau berpuasa.”[18]

Abu ‘Awanah mempunyai jalur periwayatan lain dari Nafi’ bahwa Ibnu ‘Umar memenuhi (undangan), baik dalam keadaan berpuasa maupun tidak.[19]

Disebutkan dalam riwayat Abu Dawud dari Nafi’ di akhir hadits yang marfu’: “Jika dia sedang tidak berpuasa, maka hendaklah ia makan dan jika sedang berpuasa, maka hendaklah ia menyibukkan diri dengan berdo’a agar ia memperoleh keutamaan do’a, demikian pula agar penghuni rumah dan orang-orang yang hadir mendapatkan keberkahannya.”

Dalam riwayat Abu ‘Awanah dari Nafi’: “Apabila Ibnu ‘Umar diundang, maka dia memenuhinya. Jika dia sedang tidak berpuasa, maka dia makan dan jika sedang berpuasa, maka dia berdo’a untuk mereka agar memperoleh keberkahan. Kemudian dia pun pergi.”[20]

Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahiihnya, dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لَوْ دُعِيْتُ إِلَى كُرَاعٍ لأَجَبْتُ، وَلَوْ أُهْدِىَ إِلَيَّ كُرَاعٍ لَقَبِلْتُ.

“Seandainya aku diundang untuk menikmati kaki kambing, niscaya aku penuhi, dan seandainya aku diberi hadiah kaki kambing, niscaya aku menerimanya.”[21]

Al-Hafizh berkata: “Dalam hadits ini berisi bukti atas ke-luhuran akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketawadhu’annya, dan memberi hiburan pada hati manusia.”[22]

f. Siapa yang tidak memenuhi undangan, berarti dia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahiihnya, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa ia mengatakan:

شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الُوَلِيْمَةِ، يُدْعَى لَهَا اْلأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى الله وَرَسُوْلَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

“Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah, hanya orang-orang kaya saja diundang, sedangkan orang-orang fakir tidak diundang. Barangsiapa yang tidak memenuhi undangan, maka dia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.”[23]

Al-Hafizh berkata dalam al-Fat-h: “Ini adalah dalil wajibnya memenuhi undangan.”[24]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ditanya tentang seseorang, apabila sebagian besar hartanya adalah halal, namun di dalamnya terdapat sedikit syubhat, jika dia menjamu seseorang atau meng-undangnya, apakah dia wajib memenuhinya ataukah tidak?

Jawaban: Alhamdulillaah. Jika tidak memenuhi undangan tersebut berdampak buruk, seperti memutuskan silaturahmi atau merusak kesatuan dan sejenisnya, maka dia harus memenuhinya; karena silaturahmi dan memelihara kesatuan adalah wajib. Jika tidak terlaksana kecuali dengan hal itu, maka itu menjadi wajib. Jadi, memenuhi undangan tersebut tidak diharamkan. Atau dapat dikatakan, bahwa kemaslahatan perbuatan tersebut lebih besar dari sesuatu yang dikhawatirkan sebagai syubhat. (Tetapi,-ed.) apabila tidak ada mafsadahnya; bahkan tidak memenuhi undangan tersebut bermaslahat untuk menjauhi syubhat dan mencegah pengundang dari sedikit dosa, serta dalam memenuhi undangan tersebut hanya terdapat kemaslahatan karena memenuhi undangan saja tapi di dalamnya terdapat mafsadah syubhat; manakah di antara keduanya yang lebih rajih (kuat)? Ini, saya kira, diperselisihkan. Cabang dari persoalan ini sangat banyak. Para Sahabat kami dan selainnya menukil berbagai permasalahan di dalamnya. Sebagian ulama ada yang menguatkan aspek at-tark (meninggalkan (karena dilarang), dengan tidak memenuhi undangan tersebut,-pent.) dan al-wara’ (menjauhi hal-hal yang membahayakan diri dalam beragama,-ed.), sementara sebagian lainnya menguatkan aspek ketaatan dan kemaslahatan (dengan memenuhi undangan tersebut,-pent.).[25]

Beliau juga ditanya tentang seseorang yang mempunyai harta yang berasal dari sumber yang halal dan juga yang berasal dari sumber yang haram; apakah seseorang boleh makan dari hartanya ataukah tidak?

Jawaban: Jika yang haram diketahui secara jelas, maka sudah pasti ia tidak boleh memakannya. Jika tidak diketahui secara jelas, maka tidak diharamkan memakan darinya. Tetapi jika yang haram sangat banyak, maka haruslah ditinggalkan untuk menjauhi hal yang haram, wallaahu a’lam.[26]

Beliau juga ditanya tentang makna sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ أَتَى إِلَى طَعَامٍ، لَمْ يُدْعَ إِلَيْهِ، فَقَدْ دَخَلَ سَارِقًا وَخَرَجَ مُغِيْرًا.

“Barangsiapa yang datang ke jamuan makan, padahal dia tidak diundang, maka dia masuk sebagai pencuri dan keluar sebagai penyamun.”

Jawaban: Alhamdulillaah. Artinya, orang yang mendatangi undangan tanpa seizin orang yang mengundangnya, berarti dia masuk dengan sembunyi-sembunyi seperti pencuri dan makan tanpa kerelaan mereka. Tetapi mereka malu melarangnya, lalu dia keluar seperti penyamun yang mengambil harta manusia dengan pemaksaan, wallaahu a’lam.[27]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]
_______
Footnote
[1]. Fat-h al-Baari (IX/230).
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 5167) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1427) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1094) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3351) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2109) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1907) kitab an-Nikah, Ahmad (no. 12274), Malik (no. 1157) kitab an-Nikaah, ad-Darimi (no. 2204), kitab an-Nikaah.
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 5168) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1428) kitab an-Nikaah.
[4]. Fat-hul Baari (IX/231).
[5]. Hais, menurut ahli bahasa adalah, kurma yang diambil bijinya lalu dicampur dengan keju, samin atau tepung.
[6]. HR. Al-Bukhari (no. 5169) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1365) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1095) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1909) kitab an-Nikaah.
[7]. Fat-hul Baari (IX/237).
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 5172) kitab an-Nikaah, dan al-Bukhari meriwayatkannya sendirian.
[9]. HR. Al-Bukhari (no. 5170), kitab an-Nikaah.
[10]. Disebutkan al-Hafizh dalam Fat-hul Baari (IX/243), dan mengatakan: “Abu Ya’la mengeluarkannya dengan sanad yang hasan dari Anas Radhiyallahu anhu.”
[11]. HR. Abu Dawud (no. 4832) kitab al-Adab, at-Tirmidzi (no. 2395) kitab az-Zuhd, Ahmad (no. 10944), al-Hakim (IV/128), ia menshahihkannya dan di-setujui oleh adz-Dzahabi, serta dihasankan Syaikh al-Albani dalam al-Misykah (III/1397), ad-Darimi (no. 2057), kitab al-Ath’imah.
[12]. HR. Al-Bukhari (no. 5177) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1432) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 3742) kitab al-Ath’imah, Ibnu Majah (no. 1913) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 7237), Malik (no. 1160) kitab an-Nikaah, ad-Darimi (no. 2066) kitab al-Ath’imah.
[13]. HR. Al-Bukhari (no. 5173) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1429) kitab an-Nikaah.
[14]. HR. Muslim (no. 101), bab al-Amri bi Ibaahatid Daa’i ilad Da’wah.
[15]. HR. Al-Bukhari (no. 5173) kitab an-Nikaah.
[16]. HR. Al-Bukhari (no. 5175) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 2066) kitab al-Libaas waz Ziinah, an-Nasa-i (no. 5309) kitab az-Ziinah, Ahmad (no. 18034).
[17]. HR. Al-Bukhari (no. 5179) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1429) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1098) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 3736) kitab al-Ath’imah, Ibnu Majah (no. 1914), Ahmad (no. 4698), Malik (no. 1059) kitab an-Nikaah, ad-Darimi (no. 2082) kitab al-Ath’imah.
[18]. HR. Muslim (no. 1431), dengan lafazh:
إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُبِبْ، فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ، وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ.
“Jika salah seorang dari kalian diundang, maka penuhilah. Jika ia berpuasa, maka berdo’alah dan jika tidak berpuasa, maka makanlah.”
[19]. HR. Muslim (no. 103) kitab an-Nikaah.
[20]. Fat-hul Baari (IX/247).
[21]. HR. Al-Bukhari (no. 5178) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1429), at-Tirmidzi (no. 1338) kitab al-Ahkaam, Ahmad (no. 9201).
[22]. Fat-hul Baari (IX/246).
[23]. Telah disebutkan takhrijnya.
[24]. Fat-hul Baari (IX/245).
[25]. Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/214-215).
[26]. Ibid (XXXII/215.)
[27]. Ibid (XXXII/207).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2374-walimah-pesta-pernikahan.html